AsuransiIndonesian

Mengenal Asuransi Syariah

Asuransi syariah ialah produk yg kini banyak dilirik & dikembangkan perusahaan asuransi, & ternyata peningkatan unit usaha syariah di tahun-tahun ini dapat menyaingi produk asuransi konvensional. Akhirnya muncullah perusahaan-perusahaan asuransi baru dgn memfokuskan diri di label asuransi syariah.

Mengingat semakin maraknya persaingan antar perusahaan asuransi, maka disini aku mencoba mengulas asuransi syariah. Baiklah, hakikatnya manusia ialah keluarga besar manusia. Guna dapat meraih kehidupan bersama, manusia selanjutnya saling tolong menolong & saling membantu dgn menanggung kesulitan antara manusia yg satu dgn manusia lainnya. Adanya saling tolong menolong diantara manusia pun karenaitu pedoman hudup umat Islam sebagaimana dicontohkan sebagai satu tubuh; bilamana ada satu anggota masyarakat yg sakit, maka yg lain turut merasakannya. Setidaknya dgn menjenguknya, ataupun membagikan dukungan. Rasa peduli antar manusia ini dapat mengurangi beban derita orang yg terkena musibah. hal inilah yg karenaitu asal muasal terbentuknya tatatertib Asuransi Syariah. Asuransi syariah di teorinya lebih di menghadapi risiko ataupun musibah dgn pembebanan di kepentingan bersama atas dasar keedulian & rasa persaudaraan diantara para peserta pemilik asuransi syariah.

Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko terjadinya musibah, diantaranya:

  • Pertama ialah dgn menanggungnya sendiri (risk retention),
  • Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), &
  • Ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing).

Cara yg ketiga inilah yg mendasari pembagian resiko masa asuransi syariah. Esensi asuransi syariah, di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, perlindungan, & saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility). Pedoman generik Asuransi Syariah ialah usaha saling melindungi & tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi masa bentuk asset &/ataupun dgn nama lain disebut tabarru’ yg membagikan pola bagi menghadapi risiko eksklusif melalui akad (transaksi) yg serupa dgn syariah, yaitu akad yg bukan mengandung maghrib; maysir (perjudian), gharar (penipuan) & riba. Sifat masa asuransi syariah akan meminimalisir hal-hal yg lebih mengutamakan kepentingan pribadi ataupun dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata. melainkan ada pula yg menjadikan asuransi sebagai ajang spekulasi (maysir), yg karenaitu asuransi sebagai akad jual beli ataupun tukar menukar (mu’awadlah) kaga akad saling tolong menolong (ta’awun’).

Dengan cara sejarah, perkembangan asuransi baru muncul di abad 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yg siap menanggung risiko-risiko di bahar yg kerap menimpa bahtera layar ataupun penumpangnya dgn imbalan uang eksklusif. selanjutnya pasca tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya masa bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yg cukup besar di London di tahun 1666 M yg melalap lebih dari 13000 rumah. selanjutnya di abad kedelapan belas hingga pertengahan abad kesembilan belas seiring dgn revolusi industri & meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, bagai asuransi seseorang yg mengasuransikan dirinya dari suatu bahala yg mungkin menimpa hartanya, bagai juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian ataupun yg lain sebagainya. padahal menurut legalitas syariah, tatatertib asuransi syariah baru diakui & diadopsi oleh ulama dunia di tahun 1985.
Melihat perkembangan asuransi syariah, dimana para pemegang polis & ataupun calon nasabah kebanyakan memilih yg syar’i dgn berbagai alasan keamanan investasi ataupun dgn ujar lain ‘halal’, maka banyak perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. kemudian, perkembangan asuransi syariah masa beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. kini, Indonesia dikenal sebagai disorientasi satu negara dgn jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yg telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, & enam broker asuransi & reasiuransi syariah.

Sebenarnya disparitas utama antara asuransi syariah & konvensional terletak di tujuan & landasan operasional. Dari samping tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) padahal masa asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundangan, kala asuransi syariah melandaskan di peraturan perundangan & ketentuan syariah. Dari kedua disparitas ini muncul disparitas yg lainnya, berhubungan hubungan perusahaan & nasabah, keuntungan, memperhatikan pantangan syariah, & pengawasan.

Kepemilikan dana di asuransi syariah ialah hak nasabah ataupun pemegang polis. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah bagi mengelolanya. di asuransi konvensional, dana yg terkumpul dari nasabah (berupa iuran bulanan ataupun premi) karenaitu milik perusahaan, karenaitu perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. masa mekanismenya, asuransi syari’ah bukan mengenal dana hangus bagai yg terdapat di asuransi konvensional. bilamana di kala kontrak peserta bukan dapat melanjutkan pembayaran premi & ingin mengundurkan diri sebelum kala reversing period, maka dana yg telah disetorkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yg telah diniatkan bagi tabarru’ (uang sukarela yg dikumpulkan & dikelola oleh perusahaan yg selanjutnya digunakan bagi kepentingan bersama).

Implementasi akad takafuli & tabarru’ masa tatatertib asuransi syariah direalisasikan masa bentuk pembagian setoran premi karenaitu dua. bagi produk yg mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yg dibayarkan akan dikotomi ke masa rekening dana peserta & satunya lagi rekening tabarru’. padahal bagi produk yg bukan mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yg dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke masa rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ karenaitu sangat penting bagi menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan asuransi dari samping pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi heroisme dgn kala pertanggungan 10 tahun dgn manfaat 10 juta rupiah. bilamana ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat & baru pernah membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana. Disinilah selanjutnya timbul gharar tadi karenaitu diperlukan mekanisme eksklusif bagi menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana eksklusif bagi pembayaran klaim (yg di hakekatnya bagi tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.
kemudian, dana yg terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib/wakil) ke masa instrumen-instumen investasi yg bukan bertentangan dgn syariat. bilamana dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka pasca dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dikotomi antara shahibul maal (peserta) & mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudlarabah (bagi hasil) dgn rasio (nisbah) yg telah disepakati di muka ataupun membayar fee kepada wakil.

Adapun asuransi akad tijari ialah model mudlarabah ataupun wakalah. menurut teknis, mudlarabah ialah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal padahal pihak kedua karenaitu pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahibul maal) & pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha menurut mudlarabah dikotomi dengancara kesepakatan yg dituangkan masa kontrak, padahal bilamana rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu kaga implikasi kelalaian pengelola. bilamana kerugian itu diakibatkan dikarenakan kecurangan ataupun kelalian pengelola, maka pengelola mesit bertanggung jawab atas kerugian itu. Kontrak bagi hasil disepakati di depan karenaitu bilamana terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil itu. Misalkan kontrak bagi hasilnya ialah 60:40, dimana peserta mendapatkan 40 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 60 persen dari keuntungan.

Meski hingga kini akad mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, melainkan beberapa ahli ekonomi Islam berawal dari memberi “catatan eksklusif” terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudlarabah difokuskan di beberapa hal: Definisi profit sharing masa akad mudharabah ialah “tingkat pengembalian dana hasil investasi” padahal masa prakteknya, yg terjadi kaga “profit sharing” melainkan “surplus sharing” dimana yg dibagihasilkan ialah “hasil investasi + modal pusat” yaitu masa kondisi bilamana seluruh dana premi yg terkumpul masih tersisa pasca dikurangi beban asuransi & biaya operasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button